Surabaya, Kota yang Hujannya Tak Menentu
Waktu saya kecil dulu, saya masih ingat musim penghujan dan musim kemarau itu punya rentang masing-masing 6 bulan. Tapi saat ini sudah tidak lagi. Contoh kecilnya adalah di kota Surabaya tempat saya tinggal. Antara penghujan dan kemarau tidak punya batas dan rentang lagi. Di musim kemarau pun masih sering hujan.
Ya memang sebenarnya hal ini patut disyukuri karena memang hujan adalah anugerah. Atau setidaknya dengan seringnya hujan, Surabaya menjadi tidak terlalu panas. Dulu, Surabaya pernah mencapai 40 derajat Celcius di jalanan. Saya merasakan sendiri bagaimana panasnya di jalanan. Kaki saya sampai belang karena seringnya kena panas.
Namun, kemarin hari sempat saya dengar kabar harga garam jadi naik. Saya tanya teman saya yang asli orang Madura ternyata memang di Madura memang susah untuk memproduksi garam seperti sebelumnya. Ternyata hal ini imbas dari musim penghujan yang lebih panjang dari sebelumnya hingga masuk rentang musim kemarau. Di berita katanya kenaikan cuma 100%. Fakta di lapangan, di tangan konsumen harga garam bisa naik 300% hingga 400%.
Fenomena seperti ini sebenarnya tetap harus diambil sisi baiknya. Dengan naiknya harga garam, maka setidaknya mengurangi resiko terkena darah tinggi. Hehe. Apalagi beberapa orang suka sekali dengan makanan yang asin, bahkan kelewat asin atau dalam bahasa Madura biasanya disebut paker.
Kalau boleh berspekulasi, bisa saja hujan ini disebabkan karena banyaknya jomblo di Surabaya. Loh kok bisa? Karena jomblo setiap Sabtu malam Minggu selalu berdoa agar hujan. Hehe.
Kasian yg jomblo jadi tersangka